Minggu, 17 Januari 2010

halaman pertama hidupku

PERJALANAN PANJANG
Catatan Rudolf Puspa

Suatu sore di bulan Juni 1984, sehari setelah mengikuti kegiatan Tong-Tong Festival di Denhaag, aku memutuskan untuk berjalan-jalan santai bersama rekan-rekanku di kota Amsterdam. Buat ukuran orang Indonesia, meski musim panas, tapi tetap terasa sangat dingin. Menyusuri keramaian kota besar di Eropa Barat ini tentu saja membawa kenikmatan tersendiri. Begitu terasa bahwa manusia memiliki tempat yang nyata walau di jalanan. Bahwa keramaian lalu lintas masih tetap memberikan penghargaan kepada manusia. Tidak ada peringatan untuk mengutamakan pejalanan kaki, karena sudah menjadi sikap sehari-hari. Manusiapun berjalan di trotoar yang sudah disediakan. Menyeberang jalan juga pada tempat yang sudah ditentukan. Maka kata kuncinya adalah “disiplin” berlalu lintas dilaksanakan dengan sangat baik.
Di sebuah taman kota aku berpapasan dengan seorang anak laki-laki bule yang sedang berjalan dengan ayahnya. Sang ayah tampak sedang menenangkan anaknya yang masih berumur 7 tahun. Aku lihat anak itu menunjuk ke arahku. Aku jadi tertarik dan bertanya padanya. “Ada apa?” Tentu si anak bicara dalam bahasa Belanda yang aku kurang paham. Sang ayah mengatakan dengan santun dengan menggunakan bahasa Inggris tapi tidak terlalu lancar padaku bahwa anaknya ingin baju batik yang sedang aku kenakan. Anak ini begitu tertarik dengan baju yang belum pernah dia lihat. Aku senyum bangga tentunya bahwa aku sedang memakai karya asli bangsaku. Anak itu bersikeras untuk meminta baju yang kupakai. Sang ayah terus membujuknya untuk menghentikan permintaannya tapi kemauannya begitu besar pada bajuku ini.
Saat itu pikiranku melayang-layang jauh kemasa silamku, sehingga aku tidak mengambil keputusan memberikan atau tidak. Ketertarikan besar anak bule itu pada baju batik mengingatkan aku pada diriku yang masih berada di lingkungan bangku sekolah dasar (dulu bernama sekolah rakyat) yang memiliki kemauan keras untuk bisa berteater. Aku masih duduk di sekolah dasar Pangudi Luhur di kota kelahiranku Solo, Jawa tengah. Kegiatan kesenian memang diberikan bahkan bukan sebagai kegiatan ekstra. Ada penilaian juga sehingga siswa harus mengikuti. Tiap merayakan natal dan akhir tahun, sekolah selalu membuat acara yang kalau sekarang sering disebut dengan pensi atau pentas seni. Ada nyanyi koor, tablo (drama yang tidak pakai dialog), deklamasi (dulu belum ada yang namanya baca puisi), tari modern maupun klasik Jawa, lalu puncak nya adalah pertunjukkan drama atau sandiwara.
Aku termasuk anak yang dalam bahasa Jawa disebut “clingus”, yaitu pemalu yang sangat berlebihan. Aku ingat setiap pelajaran menyanyi biasanya murid-murid akan disuruh untuk menyanyikan sebuah lagu secara bergantian. Dan jika giliranku tiba, aku hanya bisa bernyanyi dengan berbisik ke telinga guruku karena aku terlalu malu untuk berbagi suaraku dengan semua murid di kelas. Pernah suatu kali karena paksaan dari teman-teman dan guruku, aku terpaksa bernyanyi dengan lantang. Bukannya suara yang keluar tapi aku malah pipis di celana sambil menangis berjam-jam sampai-sampai guruku harus meninggalkan kegiatan mengajarnya untuk menenangkanku. Sejak itu pak guru tidak pernah lagi menyuruhku bernyanyi lantang. Pak guru menspesialisasikan aku sebagai penyanyi berbisik. Akupun dari saat itu hingga kini paling pantang kalau disuruh menyanyi di depan banyak orang.
Keahlian seorang guru mengajar, memberikan pendidikan , memberi perhatian pada orang-perorang, bahkan ketika aku tak berubah sepanjang tahun tetap saja dibimbing dan begitu seterusnya ketika naik ke kelas selanjutnya memang patut diacungi jempol.
Keberanianku muncul ketika aku kelas lima. Aku tidak naik kelas. Bukan karena aku bodoh, tapi memang ada peraturan di sekolah untuk tidak menaikkan ke kelas enam bagi anak-anak yang pemalu, penakut dan kurang percaya diri. Hal ini bertujuan untuk menaikkan kepercayaan diri bagi anak-anak tersebut. Termasuk aku. Sebagai anak yang tinggal kelas akan ada perasaan lebih dibanding yang baru naik. Walau begitu aku bukan tipe anak yang pemberani seperti umumnya anak yang tinggal kelas. Sifat pemalu masih terus menguasai diriku.
Guru kesenianku suatu hari memberikan tugas untuk ikut main sandiwara. Aku ingat sekali judul naskahnya adalah “Pak Bejo”. Sebuah cerita mengenai seorang laki-laki yang hidupnya selalu beruntung karena selalu menerima apapun tanpa mengeluh. Seluruh tubuhku langsung gemetar seketika. Sebenarnya aku sangat suka sekali nonton sandiwara. Setiap melihat acara pentas drama natal dan akhir tahun aku selalu menjadi penonton yang duduk di paling depan. Aku kagum dengan murid-murid yang memiliki keberanian dan keahlian untuk bisa memainkan karakter yang berbeda-beda. Apalagi ketika mereka berhasil memukau penonton dan diberikan tepuk tangan yang paling meriah. Belum lagi setelah itu biasanya peran utamanya menjadi idola di sekolah. Di kantin mereka saling berebut untuk duduk paling dekat dengannya. Aku selalu ingin sekali merasakan seperti apa rasanya. Tapi tetap saja dengan keberanianku yang nol besar mana mungkin aku bisa menjadi seperti mereka.
Ini sudah takdir. Teriakku dalam hati. Sudah saatnya aku unjuk gigi. Walaupun bayang-bayang pipis di celana terus melintas di kepalaku tapi kali ini aku harus berani. Kesempatan tidak mungkin datang dua kali. Ini keputusan untuk seumur hidup. Kalau kali ini tidak berani, aku tidak akan pernah menjadi pemain sandiwara untuk selamanya. Keinginanku terlampau besar sehingga mengalahkan kekhawatiranku yang terlalu berlebihan untuk bisa ikut tampil. Awalnya memang tidak mudah, aku sering sekali tiba-tiba ingin pipis dan teman-teman harus terganggu dengan kegiatan rutinku ke belakang. Setiap latihan dalam sejam aku bisa tiga kali ijin ke belakang. Tapi lama-kelamaan kegiatan rutinku itu sedikit demi sedikit berkurang. Aku juga berjuang sekuat tenaga untuk bisa bicara dengan kuat. Ini satu usaha yang luar biasa bagiku yang kalau bicara lembut dan hampir tak bersuara. Aku dikenal dikeluargaku sebagai anak pendiam. Aku cuma bisa banyak bicara dengan anjingku, Dogi yang menjadi teman dekatku.
Aku punya sahabat yang rumahnya dekat dengan rumahku. Namanya Gabriel Suharto yang kini sudah almarhum. Setiap berangkat dan pulang sekolah kami selalu bersama hingga bangku sekolah SMP. Dia lebih berani dan bicaranya banyak dan aku selalu berlindung padanya. Ia yang mengajariku bicara dengan kuat. Setelah aku ceritakan niatku untuk ikut dalam sandiwar sekolah dan minta diajari cara bicara dengan keras tanpa rasa malu yang berlebihan di depan banyak orang, setiap pulang sekolah dia selalu mengajakku ke kebun binatang. Kebetulan kami punya teman sekolah yang bernama Jhony yang tinggal di dalam komplek Taman Sri Wedari yang membuka restoran yang paling terkenal di Solo, namanya Restoran Pak Amat, diambil dari nama bapaknya “Amat”. Jadi kami bisa masuk secara gratis. Begitu masuk ke kebon binatang, dia kemudian teriak-teriak ke arah monyet-monyet yang sedang bermalas-malasan. “Ayo ikuti aku, nikmat rasanya.” Katanya padaku. Awalnya aku bingung tapi kuikuti saja kemauannya itu. Besoknya kami kesana lagi. Tapi kali ini bukan monyet yang diteriakinya, tapi gajah. Besoknya beda binatang lagi. Akhirnya setelah satu minggu penuh kami menghabiskan sore hari kami di kebun binatang, dia kemudian menjawab semua keherananku. “Anggaplah semua penonton itu sebagai binatang disini Rud. Mereka tidak akan menyorakimu kalau teriakanmu terlalu melengking, tapi mereka juga tidak mengidahkanmu, mereka mencoba untuk mengerti maksudmu. Jadi jangan takut lagi untuk berteriak. Jangan jadikan rasa malumu sebagai penghalang karirmu kelak.” Aku langsung tersentak dan tanpa sadar aku sudah menitikkan air mata. Aku langsung memeluknya. Sejenak kemudian aku lepaskan pelukanku dan kemudian berlari meninggalkannya sambil tersenyum. “Terima kasih sobat, itu yang ingin kudengar darimu. Aku tidak akan pernah mengecewakanmu.” Perjuangan berlatih dramapun kulakukan dengan sekuat tenaga, kutepiskan rasa maluku jauh-jauh. Aku harus bisa melakukannya.
Tak kusangka, perjuanganku ini mendapat hasil yang membahagiakan aku. Memang aku bukan peran utama, dan bagianku juga hanya sedikit, tapi guruku memuji dan memberikan hadiah yang menambah kebanggaanku. Yang dia kawatirkan suaraku tidak terdengar ternyata teratasi ketika berada di atas panggung. Gabriel, sahabatku meneriakiku paling keras. Ayah ibuku bangga sekali pada anaknya. Ibuku meneteskan air mata melihat anak sulungnya bisa bermain drama. Tak pernah sedikitpun terlintas di benaknya bahwa anaknya si pemalu yang cuma berani bicara banyak hanya sama anjingnya saja bisa mementaskan sebuah drama yang ditonton banyak orang.
Itulah pertunjukkan drama pertamaku dan menjadi yang terakhir selama sekolah tingkat dasar.

(to be continued)
Jakarta 18 Januari 2010. 07.14 WIB


Kalau anda suka dengan cerita dari Rudolf Puspa ini, silakan tinggalkan pesan anda. Dan alangkah senangnya jika anda menyebarkan alamt blog ini ke teman-teman anda.

Terima kasih dan salam teater.